KENAPA HARUS KARTINI???
Mengapa harus Kartini yang
dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia? Ada dua sosok wanita yang
hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri Ratu Tajul Alam
Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh. Kedua, Siti Aisyah We Tenriolle dari
Sulawesi Selatan. Anehnya, dua wanita ini tidak masuk dalam buku Sejarah
Setengah Abad Pergerakan Wanita Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1978),
terbitan resmi Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Tentu saja Kartini masuk
dalam buku tersebut.
Padahal, kehebatan dua
wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal sebagai sosok yang
sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu pengatetahuan. Selain bahasa Aceh
dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab, Persia, Spanyol dan Urdu. Di masa
pemerintahannya, ilmu dan kesusastraan berkembang pesat. Ketika itulah lahir
karya-karya besar dari Nuruddin ar-Raniry, Hamzah Fansuri, dan Abdur Rauf. Ia
juga berhasil menampik usaha-usaha Belanda untuk menempatkan diri di daerah
Aceh. VOC pun tidak berhasil memperoleh monopoli atas perdagangan timah dan
komoditi lainnya. Sultanah memerintah Aceh cukup lama, yaitu 1644-1675. Ia
dikenal sangat memajukan pendidikan, baik untuk pria maupun untuk wanita.
Siti Aisyah We Tenriolle.
Wanita ini bukan hanya dikenal ahli dalam pemerintahan, tetapi juga mahir dalam
kesusastraan. B.F. Matthes, orang Belanda yang ahli sejarah Sulawesi Selatan,
mengaku mendapat manfaat besar dari sebuah epos La-Galigo, yang mencakup lebih
dari 7.000 halaman folio. Ikhtisar epos besar itu dibuat sendiri oleh We
Tenriolle. Pada tahun 1908, wanita ini mendirikan sekolah pertama di Tanette,
tempat pendidikan modern pertama yang dibuka baik untuk anak-anak pria maupun
untuk wanita.
Itulah dua wanita hebat yang hidup jauh sebelum Kartini lahir.
Maka penggambaran situasi sosial masyarakat di Nusantara yang sangat menindas
kaum perempuan dari buku-buku pelajaran sejarah di sekolah yang kita terima,
adalah penggambaran yang sama sekali tidak berdasar.
Selanjutnya, Dewi Sartika di
Bandung dan Rohana Kudus di Padang (kemudian pindah ke Medan). Dua wanita ini
pikiran-pikirannya memang tidak sengaja dipublikasikan. Tapi yang mereka
lakukan lebih dari yang dilakukan Kartini. Berikut ini paparan tentang dua
sosok wanita itu, sebagaimana dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
Dewi Sartika (1884-1947)
bukan hanya berwacana tentang pendidikan kaum wanita. Ia bahkan berhasil
mendirikan sekolah yang belakangan dinamakan Sakola Kautamaan Istri (1910) yang
berdiri di berbagai tempat di Bandung dan luar Bandung. Rohana Kudus
(1884-1972) melakukan hal yang sama di kampung halamannya. Selain mendirikan
Sekolah Kerajinan Amal Setia (1911) dan Rohana School (1916), Rohana Kudus
bahkan menjadi jurnalis sejak di Koto Gadang sampai saat ia mengungsi ke Medan.
Ia tercatat sebagai jurnalis wanita pertama di negeri ini.
Kalau Kartini hanya menyampaikan
ide-idenya dalam surat, mereka sudah lebih jauh melangkah: mewujudkan ide-ide
dalam tindakan nyata. Jika Kartini dikenalkan oleh Abendanon yang berinisiatif
menerbitkan surat-suratnya, Rohana menyebarkan idenya secara langsung melalui
koran-koran yang ia terbitkan sendiri sejak dari Sunting Melayu (Koto Gadang,
1912), Wanita Bergerak (Padang), Radio (padang), hingga Cahaya Sumatera
(Medan).
Bahkan kalau melirik
kisah-kisah Cut Nyak Dien, Tengku Fakinah, Cut Mutia, Pecut Baren, Pocut Meurah
Intan, dan Cutpo Fatimah dari Aceh, klaim-klaim keterbelakangan kaum wanita di
negeri pada masa Kartini hidup ini harus segera digugurkan. Mereka adalah
wanita-wanita hebat yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Aceh dari
serangan Belanda.
Tengku Fakinah, selain ikut
berperang juga adalah seorang ulama-wanita. Di Aceh, kisah wanita ikut
berperang atau menjadi pemimpin pasukan perang bukan sesuatu yang aneh. Bahkan
jauh-jauh hari sebelum era Cut Nyak Dien dan sebelum Belanda datang ke
Indonesia, Kerajaan Aceh sudah memiliki Panglima Angkatan Laut wanita pertama,
yakni Malahayati.
Pertanyaan yang
harus timbul adalah: MENGAPA HARUS KARTINI?
Bangsa Indonesia harus bisa
berpikir lebih jernih: Mengapa Kartini? Mengapa bukan Rohana Kudus? Mengapa
bukan Cut Nyak Dien? Mengapa Abendanon memilih Kartini? Dan mengapa kemudian
bangsa Indonesia juga mengikuti kebijakan itu?
Apakah karena Cut Nyak Dien
tidak pernah mau tunduk kepada Belanda?? Ia tidak pernah menyerah ataupun
berhenti menentang penjajahan Belanda atas negeri ini. Rohana Kudus, meskipun
aktif berkiprah di tengah masyarakat, ia juga memiliki visi keislaman yang
tegas.
Modern tidak berarti wanita
bisa sama segala-galanya dengan laki-laki. Wanita tetaplah wanita dengan segala
kemampuan dan kewajibannya. Demikian juga laki-laki dengan kemampuan dan
kewajibannya.
“Yang harus berubah adalah wanita harus mendapat pendidikan dan
perlakukan yang lebih baik. Wanita harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak
dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi
dengan mempunyai ilmu pengetahuan”, begitu kata Rohana Kudus. Sebagaimana
dikutip dari artikel Tiar Bahtiar.
Source : IRENA HANDONO (pakar teologi dan muallaf)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar